Tampilkan postingan dengan label Wisata Alternatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata Alternatif. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Maret 2010

Objek Wisata Alam Cianjur

Istana Kepresidenan

Riwayat
Istana Cipanas merupakan salah satu Istana Kepresidenan, terletak di kaki Gunung Gede Jawa Barat, kurang lebih 103 km dari Ibukota Jakarta.

Dibangun pada tahun 1742 oleh Gubernur Jendral Gustaaf William Baron Van Imhoff. Ide pembangunan muncul bermula dari ditemukannya sumber air panas bersuhu 430 Celcius  yang mengandung zat belarang dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Luas areal kompleks istana ini 26 hektar, dari luas keseluruhan, sampai dengan saat ini hanya sekitar 8000m2 saja yang digunakan untuk bangunan. Selebihnya merupakan padang rumput, taman tanaman hias, dan tanaman keras yang ditata sebagai hutan kecil. Berdasarkan penelitian hasil kerjasama dengan Kebun Raya Cibodas-LIPI, terdapat koleksi tanaman sebanyak 1334 spesimen, 171 spesies, 132 marga dan 61 suku.

Fungsi

Pada masa Pemerintah Belanda Istana Cipanas digunakan untuk tempat peristirahatan para Gubernur Jendral Belanda, antara lain Gustaaf William Baron Van Imhoff, Andreas Cornelis De Graaff, Bonafacius Cornelis De Jonge dan Tjarda Van starkenborgh-Stachouwer.

Pada masa Pemerintah Jepang Istana Cipanas digunakan untuk tempat persinggahan para pembesar Jepang dalam rangka perjalanan dari Jakarta Bandung atau sebaliknya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi Istana Cipanas ditetapkan sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia dan fungsinya tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia beserta keluarganya.

Peristiwa Bersejarah


Walaupun Istana Cipanas pada dasarnya adalah tempat untuk beristirahat, tapi Istana ini pernah juga menjadi tempat peristiwa- peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan, politik, ekonomi, dan antar bangsa.

Pada tanggal 13 Desember 1965, Istana Cipanas mencatat peristiwa sejarah dalam perekonomian Indonesia. Ruang sidang gedung induk menjadi saksi mata sebagai tempat Presiden Soekarno memimpin sidang kabinetnya untuk menetapkan perubahan nilai mata uang dari Rp. 1000,- menjadi Rp. 1,- yang dikenal dengan istilah Sanering.

Kegiatan lain yang berkaitan dengan kenegaraan terjadi pada masa Presiden Soeharto, tepatnya pada tanggal 17 April 1993 atas inisiatifnya, Istana ini menjadi tempat pertemuan antar kelompok yang bertikai di Filipina, yaitu antara Pemerintah Filipina dengan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF) yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

Pada tanggal 06 Juni 2005, Istana Cipanas menjadi tempat peringatan Hari Lingkungan Hiidup Sedunia, dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Piala Adipura 2005 dan Kalpataru kepada pejabat dan tokoh masyarakat yang dinilai berhasil dalam memelihara dan menyelamatkan lingkungan. Pada kesempatan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanam pohon jati putih (Gmelina Arborea).
Fasilitas
Fasilitas bangunan yang ada di Istana Cipanas antara lain :
1.       Bangunan induk, yang resmi disebut Gedung Induk.
2.       Bangunan berupa Paviliun, yang diberi nama :
Paviliun Yudistira
Paviliun Bima
Paviliun Arjuna
Paviliun Nakula
Paviliun Sadewa
Paviliun Abimanyu
Paviliun Antasena
Paviliun Tumaritis
3.       Bangunan lainya yaitu :
Rumah Bunga
Kolam Renang
Kolam pancing
Gedung Bentol
Rumah Pemandian Air Panas I dan II
Gedung Kantor
Masjid
Museum dan Perpustakaan

Curug Citambur

Curug ini sangat indah karena merupakan air terjun +/- 40 meter, air yang turun sebagian menjadi uap dan embun sehingga lokasi sekitar curug menjadi sejuk. Terletak di Kecamatan Pagelaran. Jarak dari kota Cianjur 65 Km
Fasilitas yang tersedia di kecamatan Pegelaran, Tangeung dan Cibinong :
1.       Obyek Wisata : 3 buah
2.       Penginapan : 2 buah
3.       Rumah Makan : 8 buah
 
Danau Leuwi Soro
Danau ini airnya bening dan dipenuhi pepohonan yang rindang dan indah. Danau ini sangat cocok untuk rekreasi menghilangkan rasa jenuh. Terletak di kecamatan Pagelara. Jarak dari Kota Cianjur 65 Km. 
Tirta Jangari
Jangari adalah suatu obyek wisata Tirta yang berada pada genangan waduk Cirata yang luas dan indah, terletak di dea Bobojong Kecamatan Mande, Jarak dari Kota Cianjur 17 Km.
Fasilitas yang tersedia di Kecamatan Cikalong Kulon :
1.       Rumah Makan : 7 buah
2.       Pondok Wisata : 1 buah
3.       Pompa BBM : 1 buah
4.       Obyek Wisata : 1 buah 
Pantai Jayanti
Pantai yang indah dan menarik berdampingan dengan Cagar Alam Bojonglarang dan pelabuhan nelayan. Pantai ini masih alami dengan ombak yang indah dan angin bertiup perlahan-lahan menambah nyamannya berekreasi dipantai Jayanti. Terletak di kecamatan Cidaun. Jarak dari Kota Cianjur 139 Km.
Fasilitas Yang tersedia di Kecamatan Cidaun :
1.       Pondok Wisata : 3 buah
2.       Rumah Makan : 3 buah
3.       Obyek Wisata : 4 buah
(Diperbarui Selasa, 2 Februari 2010 )

Sabtu, 20 Maret 2010

Green Canyon

Green Canyon yang nama aslinya Cukang Taneuh terletak di desa Kertayasa Kec Cijulang 31 KM dari pangandaran ke arah selatan.

Objek wisata ini berupa aliran sungai Cijulang yang menembus gua dengan stalaktit dan stalaknit yang mempesona serta diapit oleh dua buah bukit dengan bebatuan dan rimbunya pepohonan menyajikan atraksi alam yang khas dan menantang.

Dimulut gua terdapat air terjun palatar sehingga suasana di wisata ini terasa begitu sejuk dan penuh nuansa petualangan. Kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya panjat tebing Rock Climbing, berenang, bersampan sambil memancing.


Untuk mencapai lokasi ini wisatawan dapat menggunakan perahu yang banyak tersedia di dermaga Ciseureuh, baik perahu temple maupun perahu kayuh.

Objek wisata ini berdekatan dengan objek wisata Batu Karas serta lapang terbang Nusawiru.

Fasilitas yang tersedia antara lain : Dermaga Perahu, Lapang Parkir, Kios Makanan/Minuman, Kios Cinderamata, Mushola dan MCK.

Selasa, 23 Februari 2010

Saung Angklung Udjo

Saung Angklung Udjo merupakan sepenggal kisah bagaimana kekayaan budaya lokal masih dapat bertahan dan barakulturasi dengan desakan arus globalisasi. Didirikan pada tahun 1966 oleh Alm. Udjo Ngalagena beserta istri Uum Sumiati, sebagai sebuah sanggar seni dan pusat produksi Angklung. Kini SAU telah berkembang menjadi sebuah objek wisata budaya Jawa Barat.
Terletak atas dasar semangat Udjo Ngalagena (1929-2001) untuk melestarikan kebudayaan Sunda, SAU merupakan sebuah sanggar seni sebagai tempat pertunjukan seni, laboratorium dan tempat pelatihan seni budaya Sunda. SAU merupakan sebuah bukti bagaimana nilai budaya yang dipertahankan dapat membuahkan nilai manfaat yang beragam bagi masyarakat sekitar.
SAU merupakan sebuah corak kekayaan dunia yang terus memberi warna dan makna bagi kehidupan manusia. Terletak, di bagian timur kota Bandung, Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan tempat dimana kita masih dapat merasakan kesegaran alam, kicauan burung dan kegembiraan anak-anak.
Datang, alami dan nikmati budaya khas Sunda di Saung Angklung Udjo.
Alunan Rumpun Bambu Saung Angklung Udjo adalah sketsa keindahan bumi Tatar Sunda. Gemerisik daun bambu menyapa telinga, mulai dari gerbang hingga pojok paling belakang; bambu dan bambu. Udara segar menghantar kita untuk merasakan suasana tradisi, menikmati alam dan keragaman jenis pohon bambu.
Keceriaan Anak-Anak Senyum dan aktivitas anak-anak adalah “ruh” dari Saung Angklung Udjo. Sejak tahun 1966 proses regenerasi seni tradisi dilakukan dengan cara bermain sambil belajar. Di setiap sudut, senyuman dan sapaan anak-anak akan menemani anda ketika mengenal suasana Saung Angklung Udjo.
Pusat Produksi Angklung Sebagai pusat produksi Angklung di Indonesia, SAU merupakan tempat untuk melihat dan belajar bagaimana sebatang bambu menjadi melodi yang merdu. Kenali dan ketahui proses khasanah kearifan lokal sebagai bagian dari melestarikan budaya tradisi.
Cinderamata Toko Cinderamata Saung Angklung Udjo memiliki berbagai hasil kriya tangan terampil masyarakat Jawa Barat.
Pertunjukan Seni Budaya Pertunjukan Bambu Petang merupakan sebuah mahakarya Udjo Ngalagena yang masih dapat kita apresiasi hingga kini, dipentaskan setiap hari mulai pukul 15.30 wib. Pertunjukan ini merupakan pagelaran apik dari budaya tradisi Sunda.



Jalan Braga

Jalan Braga mungkin nama jalan paling terkenal di Kota Bandung. Pada awal tahun 1900-an, Jalan Braga masih berupa jalan tanah dengan pepohonan dan rumah gaya Hindia Timur. Beberapa dasawarsa kemudian atau pada pertengahan tahun 1930-an, Jalan Braga telah berkembang pesat dan berubah menjadi komplek pertokoan Eropa terkemuka di Hindia Belanda. Di kawasan tersebut terdapat hotel, restoran, dan beragam toko yang menyediakan segala kebutuhan.

Melintasi Jalan Braga pada masa kini seolah menjadi bagian dari sejarah masa lalu. Jejak kejayaan Braga pada waktu lampau masih terlihat dari bangunan-bangunan tua bergaya Art-deco yang megah dan masih berdiri kokoh di sisi jalan. Jika ada bagian yang hilang dari Jalan Braga, itu adalah kemeriahan. Sejak warga Indo-Belanda dan Belanda, pemilik toko di Jalan Braga, meninggalkan Braga pada tahun 1957, Jalan Braga berangsur-angsur menjadi sepi. Perkembangan Kota Bandung membuat keramaian kota terbagi. Banyaknya komplek pertokoan baru membuat Braga kian tergeser. Bahkan, sejak 2005, sebanyak 45 persen pemilik usaha di sekita Braga menutup usahanya.
Denyut Jalan Braga mulai terlihat ketika malam hari. Beberapa kafe di pinggir jalan mulai buka dan para pelayan sibuk menawarkan menu makanan dan minuman kepada pejalan kaki yang melintas. Sepasang remaja bergandengan tangan di trotoar, sambil sesekali berfoto di depan pintu bangunan tua yang kosong. Penjual lukisan sibuk menata kembali dagangan mereka yang jatuh tersapu angin malam yang cukup membuat badan merinding.
Meskipun memiliki pesona di kala malam, Jalan Braga sudah tidak lagi menjadi tempat favorit untuk singgah. Penumpang mobil hanya membuka separuh kaca mobil utnuk melihat-lihat bangunan tua dan suasana saat melintasi Jalan Braga. Sedikit sekali dari mereka yang kemudian memarkirkan mobil dan membaur dengan warga menikmati suasana Jalan Braga. Modernisasi kian mengikis sejarah kota. Para turis lokal kebanyakan lebih memilih singgah di bagian lain Kota Bandung yang menawarkan sesuatu yang lebih menarik, semisal wisata belanja, seperti di deretan FO di kawasan Dago dan juga di Jalan Cihampelas..
Braga, riwayatmu kini.....
(sumber " Kompas 20-04-09/Yuniadi Agung")

Gedung Merdeka

Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 Bandung, dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda. Mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879.

Tujuannya adalah “...... de bevordering van gezellig verkeer”. Sebagai tempat pertemuan, sebelumnya mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh, di Warung De Vries. Selanjutnya (1895) mereka pindah ke gedung di seberang Warung De Vries, yang diberi nama Concordia, dengan luas tanah 7.983 meter persegi. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah.

Bangunan ini berada di sudut jalan “Groote Postweg ” (sekarang Jalan Asia Afrika) dan “Bragaweg” (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang.

Tahun 1921 Gedung Societeit Concordia dibangun kembali pada tahun 1921 dengan gaya arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan struktur oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker.

Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan “super club” yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara. Lantainya terbuat dari marmer buatan Italia. Ruangan-ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout. Penerangannya menggunakan lampu-lampu hias kristal. Ruangan-ruangan dalam gedung cukup memadai untuk menampung kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian. Luas seluruh tanahnya 7.500 m².
Tahun 1955, sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Hal ini disebabkan gedung tersebut adalah gedung tempat pertemuan umum yang paling besar dan paling megah di Bandung. Selain itu lokasinya berada di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan hotel terbaik, yaitu Hotel Savoy Homann dan Preanger.

Sejak awal tahun 1955, Gedung Societeit Concordia mulai dipugar untuk disesuaikan kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional. Pemugaran gedung ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso. Menjelang konferensi (7 April 1955), gedung ini diganti namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Gedung Merdeka.

Di dalam gedung ini terdapat ruang pameran tetap yang memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika Tahun 1955.
Museum ini terbuka untuk umum dan juga korps diplomatik dan organisasi-organisasi internasional untuk mengadakan seminar, diskusi, workshop, pameran dan kegiatan lainnya.

Galeri Seni Tamansari

Pasar seni Tamansari awalnya dibuat untuk menjadi tempat berkarya baru bagi seniman yang sebelumnya ada di Babakan Siliwangi. Pasar seni yang letaknya persis di sebelah Kebun Binatang Bandung dan berada di seberang kampus ITB ini memiliki kurang lebih 20 stand yang diisi oleh seniman-seniman lukis, patung, dan lain-lain.

Bagi anda wisatawan yang mencari karya-karya seni (khususnya lukisan, patung) kesinilah tempatnya. Disamping anda dapat berwisata sambil berbelanja karya seni, anda juga dapat melihat secara langsung bagaimana tangan-tangan terampil para pelukis bekerja di atas kanvas dan menghasilkan karya seni yang luar biasa. Menurut dialog kami dengan beberapa pelukis yang ada disana, karya mereka sudah sering diikutsertakan ke berbagai ajang pameran baik yang ada di dalam negeri, juga di mancanegara.
Baik itu pameran yang dibuat organisasi, pemerintah, dan juga pameran tunggal pelukis itu sendiri.

Pasar/Galeri Seni Tamansari ini sangat cocok dijadikan sebagai tempat wisata alternatif selama
di Bandung dan juga sebagai wisata belanja karya seni.

Observatorium Bosscha Lembang

Lembang disebut sebagai KOTA BINTANG (Bersih, Indah, Nyaman, Tertib, dan Anggun). Kota Lembang dikenal di dunia internasional karena keberadaan Observatorium Bosscha yang telah berusia 80 tahun. Observatorium Bosscha memiliki fasilitas teropong bintang dan perpustakaan astronomi yang terbaik dan terlengkap koleksinya di Asia Tenggara. Dalam The Astronomical Almanac, nama Lembang tercantum sebagai salah satu tempat di antara beberapa ratus tempat di dunia yang terpilih sebagai lokasi peneropongan bintang.

Observatorium Bosscha didirikan pada 1 Januari 1923 ditandai dengan mulainya perencanaan pembangunan Refractor Ganda Zeiss dengan diameter lensa sebesar 60 cm (24 inchi) dan panjang titik api sekitar 11 meter. Saat pembangunannya selesai pada 7 Juni 1928, teleskop ini menambah jajaran teleskop yang diperhitungkan di belahan Bumi Selatan. Ketika itu teleskop besar yang mengeksplorasi langit selatan hanya refraktor Bloemfontein 27 – inchi di Afrika Selatan (berdiri 1928) dan refraktor Mount Stromo 26 – inchi di Australia (berdiri 1925).

Teleskop utama di Observatorium Bosscha adalah refraktor Ganda Zeiss 60-cm (1928) yang digunakan untuk pengamatan bintang ganda dan planet. Berikutnya adalah teleskop tipe Schmidt “BimaSakti” dengan diameter cermin 71-cm yang merupakan satu-satunya teleskop survey di kawasan Asia Tenggara dan dibangun atas sumbangan UNESCO tahun 1960. Teleskop lainnya adalah teleskop Cassegrain GOTO 45-cm (hibah pemerintah Jepang tahun 1989), teleskop Unitron 10.2-cm dan teleskop Bamberg 37-cm.


Observatorium Bosscha merupakan sebuah laboratorium astronomi yang menjadi perintis perkembangan astronomi dan ilmu pengetahuan antariksa di Indonesia. Kontinuitas kerja dan tanggung jawab untuk mengembangkan astronomi antar generasi di Indonesia merupakan tugas penting yang dilaksanakan Observatorium Bosscha hingga saat ini. Keberadaan Observatorium ini membuka jembatan untuk beinteraksi dengan dunia ilmiah internasional melalui tukar menukar ilmu pengetahuan.


Keberadaan Observatorium Bosscha memberi kontribusi penting bagi pendidikan formal maupun informal. Observatorium ini dipergunakan sebagai laboratorium astronomi bagi pendidikan sarjana dan pasca sarjana serta sebagai model Observatorium maupun museum astronomi dalam dunia arsitek dan seni rupa. Selain itu, setiap tahun puluhan ribu siswa berkunjung ke Observatorium Bosscha untuk mempelajari alam semesta melalui interaksi langsung dengan astronom dan pengamatan benda langit menggunakan teleskop.


Observatorium Bosscha merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia sehingga lingkungan di sekitarnya perlu dijaga kelestariannya. Lingkungan Observatorium harus tetap terjaga dari polusi cahaya maupun polusi angkasa (kandungan aerosol), agar pengamatan benda langit tidak terganggu. Konservasi terhadap kawasan di sekitar Observatorium telah dilakukan dengan menjadikan Observatorium Bosscha sebagai Benda Cagar Budaya. Lingkungan konservasi tidak menghalangi “pembangunan” Lembang, namun sebaliknya, konsep pembangunan Lembang perlu difikirkan keunikannya dengan tidak meniru pembangunan kota pada umumnya.