Rabu, 24 Maret 2010
Objek Wisata Alam Cianjur
Curug
Citambur
Sabtu, 20 Maret 2010
Green Canyon
Green Canyon yang nama aslinya Cukang Taneuh terletak di desa Kertayasa Kec Cijulang 31 KM dari pangandaran ke arah selatan.
Objek wisata ini berupa aliran sungai Cijulang yang menembus gua dengan stalaktit dan stalaknit yang mempesona serta diapit oleh dua buah bukit dengan bebatuan dan rimbunya pepohonan menyajikan atraksi alam yang khas dan menantang.
Dimulut gua terdapat air terjun palatar sehingga suasana di wisata ini terasa begitu sejuk dan penuh nuansa petualangan. Kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya panjat tebing Rock Climbing, berenang, bersampan sambil memancing.
Untuk mencapai lokasi ini wisatawan dapat menggunakan perahu yang banyak tersedia di dermaga Ciseureuh, baik perahu temple maupun perahu kayuh.
Objek wisata ini berdekatan dengan objek wisata Batu Karas serta lapang terbang Nusawiru.
Fasilitas yang tersedia antara lain : Dermaga Perahu, Lapang Parkir, Kios Makanan/Minuman, Kios Cinderamata, Mushola dan MCK.
Selasa, 23 Februari 2010
Saung Angklung Udjo
Saung Angklung Udjo merupakan sepenggal kisah bagaimana kekayaan budaya lokal masih dapat bertahan dan barakulturasi dengan desakan arus globalisasi. Didirikan pada tahun 1966 oleh Alm. Udjo Ngalagena beserta istri Uum Sumiati, sebagai sebuah sanggar seni dan pusat produksi Angklung. Kini SAU telah berkembang menjadi sebuah objek wisata budaya Jawa Barat.
Terletak atas dasar semangat Udjo Ngalagena (1929-2001) untuk melestarikan kebudayaan Sunda, SAU merupakan sebuah sanggar seni sebagai tempat pertunjukan seni, laboratorium dan tempat pelatihan seni budaya Sunda. SAU merupakan sebuah bukti bagaimana nilai budaya yang dipertahankan dapat membuahkan nilai manfaat yang beragam bagi masyarakat sekitar.
SAU merupakan sebuah corak kekayaan dunia yang terus memberi warna dan makna bagi kehidupan manusia. Terletak, di bagian timur kota Bandung, Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan tempat dimana kita masih dapat merasakan kesegaran alam, kicauan burung dan kegembiraan anak-anak.
Datang, alami dan nikmati budaya khas Sunda di Saung Angklung Udjo.
Alunan Rumpun Bambu Saung Angklung Udjo adalah sketsa keindahan bumi Tatar Sunda. Gemerisik daun bambu menyapa telinga, mulai dari gerbang hingga pojok paling belakang; bambu dan bambu. Udara segar menghantar kita untuk merasakan suasana tradisi, menikmati alam dan keragaman jenis pohon bambu.
Keceriaan Anak-Anak Senyum dan aktivitas anak-anak adalah “ruh” dari Saung Angklung Udjo. Sejak tahun 1966 proses regenerasi seni tradisi dilakukan dengan cara bermain sambil belajar. Di setiap sudut, senyuman dan sapaan anak-anak akan menemani anda ketika mengenal suasana Saung Angklung Udjo.
Pusat Produksi Angklung Sebagai pusat produksi Angklung di Indonesia, SAU merupakan tempat untuk melihat dan belajar bagaimana sebatang bambu menjadi melodi yang merdu. Kenali dan ketahui proses khasanah kearifan lokal sebagai bagian dari melestarikan budaya tradisi.
Cinderamata Toko Cinderamata Saung Angklung Udjo memiliki berbagai hasil kriya tangan terampil masyarakat Jawa Barat.
Pertunjukan Seni Budaya Pertunjukan Bambu Petang merupakan sebuah mahakarya Udjo Ngalagena yang masih dapat kita apresiasi hingga kini, dipentaskan setiap hari mulai pukul 15.30 wib. Pertunjukan ini merupakan pagelaran apik dari budaya tradisi Sunda.
Jalan Braga
Jalan Braga mungkin nama jalan paling terkenal di Kota Bandung. Pada awal tahun 1900-an, Jalan Braga masih berupa jalan tanah dengan pepohonan dan rumah gaya Hindia Timur. Beberapa dasawarsa kemudian atau pada pertengahan tahun 1930-an, Jalan Braga telah berkembang pesat dan berubah menjadi komplek pertokoan Eropa terkemuka di Hindia Belanda. Di kawasan tersebut terdapat hotel, restoran, dan beragam toko yang menyediakan segala kebutuhan.
Melintasi Jalan Braga pada masa kini seolah menjadi bagian dari sejarah masa lalu. Jejak kejayaan Braga pada waktu lampau masih terlihat dari bangunan-bangunan tua bergaya Art-deco yang megah dan masih berdiri kokoh di sisi jalan. Jika ada bagian yang hilang dari Jalan Braga, itu adalah kemeriahan. Sejak warga Indo-Belanda dan Belanda, pemilik toko di Jalan Braga, meninggalkan Braga pada tahun 1957, Jalan Braga berangsur-angsur menjadi sepi. Perkembangan Kota Bandung membuat keramaian kota terbagi. Banyaknya komplek pertokoan baru membuat Braga kian tergeser. Bahkan, sejak 2005, sebanyak 45 persen pemilik usaha di sekita Braga menutup usahanya.
Denyut Jalan Braga mulai terlihat ketika malam hari. Beberapa kafe di pinggir jalan mulai buka dan para pelayan sibuk menawarkan menu makanan dan minuman kepada pejalan kaki yang melintas. Sepasang remaja bergandengan tangan di trotoar, sambil sesekali berfoto di depan pintu bangunan tua yang kosong. Penjual lukisan sibuk menata kembali dagangan mereka yang jatuh tersapu angin malam yang cukup membuat badan merinding.
Meskipun memiliki pesona di kala malam, Jalan Braga sudah tidak lagi menjadi tempat favorit untuk singgah. Penumpang mobil hanya membuka separuh kaca mobil utnuk melihat-lihat bangunan tua dan suasana saat melintasi Jalan Braga. Sedikit sekali dari mereka yang kemudian memarkirkan mobil dan membaur dengan warga menikmati suasana Jalan Braga. Modernisasi kian mengikis sejarah kota. Para turis lokal kebanyakan lebih memilih singgah di bagian lain Kota Bandung yang menawarkan sesuatu yang lebih menarik, semisal wisata belanja, seperti di deretan FO di kawasan Dago dan juga di Jalan Cihampelas..
Braga, riwayatmu kini.....
(sumber " Kompas 20-04-09/Yuniadi Agung")
Gedung Merdeka
Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 Bandung, dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda. Mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879.
Tujuannya adalah “...... de bevordering van gezellig verkeer”. Sebagai tempat pertemuan, sebelumnya mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh, di Warung De Vries. Selanjutnya (1895) mereka pindah ke gedung di seberang Warung De Vries, yang diberi nama Concordia, dengan luas tanah 7.983 meter persegi. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah.
Bangunan ini berada di sudut jalan “Groote Postweg ” (sekarang Jalan Asia Afrika) dan “Bragaweg” (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang.
Tahun 1921 Gedung Societeit Concordia dibangun kembali pada tahun 1921 dengan gaya arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan struktur oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker.
Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan “super club” yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara. Lantainya terbuat dari marmer buatan Italia. Ruangan-ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout. Penerangannya menggunakan lampu-lampu hias kristal. Ruangan-ruangan dalam gedung cukup memadai untuk menampung kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian. Luas seluruh tanahnya 7.500 m².
Tahun 1955, sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Hal ini disebabkan gedung tersebut adalah gedung tempat pertemuan umum yang paling besar dan paling megah di Bandung. Selain itu lokasinya berada di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan hotel terbaik, yaitu Hotel Savoy Homann dan Preanger.
Sejak awal tahun 1955, Gedung Societeit Concordia mulai dipugar untuk disesuaikan kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional. Pemugaran gedung ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso. Menjelang konferensi (7 April 1955), gedung ini diganti namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Gedung Merdeka.
Di dalam gedung ini terdapat ruang pameran tetap yang memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika Tahun 1955.
Museum ini terbuka untuk umum dan juga korps diplomatik dan organisasi-organisasi internasional untuk mengadakan seminar, diskusi, workshop, pameran dan kegiatan lainnya.
Galeri Seni Tamansari
Pasar seni Tamansari awalnya dibuat untuk menjadi tempat berkarya baru bagi seniman yang sebelumnya ada di Babakan Siliwangi. Pasar seni yang letaknya persis di sebelah Kebun Binatang Bandung dan berada di seberang kampus ITB ini memiliki kurang lebih 20 stand yang diisi oleh seniman-seniman lukis, patung, dan lain-lain.
Bagi anda wisatawan yang mencari karya-karya seni (khususnya lukisan, patung) kesinilah tempatnya. Disamping anda dapat berwisata sambil berbelanja karya seni, anda juga dapat melihat secara langsung bagaimana tangan-tangan terampil para pelukis bekerja di atas kanvas dan menghasilkan karya seni yang luar biasa. Menurut dialog kami dengan beberapa pelukis yang ada disana, karya mereka sudah sering diikutsertakan ke berbagai ajang pameran baik yang ada di dalam negeri, juga di mancanegara.
Baik itu pameran yang dibuat organisasi, pemerintah, dan juga pameran tunggal pelukis itu sendiri.
Pasar/Galeri Seni Tamansari ini sangat cocok dijadikan sebagai tempat wisata alternatif selama
di Bandung dan juga sebagai wisata belanja karya seni.
Observatorium Bosscha Lembang
Lembang disebut sebagai KOTA BINTANG (Bersih, Indah, Nyaman, Tertib, dan Anggun). Kota Lembang dikenal di dunia internasional karena keberadaan Observatorium Bosscha yang telah berusia 80 tahun. Observatorium Bosscha memiliki fasilitas teropong bintang dan perpustakaan astronomi yang terbaik dan terlengkap koleksinya di Asia Tenggara. Dalam The Astronomical Almanac, nama Lembang tercantum sebagai salah satu tempat di antara beberapa ratus tempat di dunia yang terpilih sebagai lokasi peneropongan bintang.
Observatorium Bosscha didirikan pada 1 Januari 1923 ditandai dengan mulainya perencanaan pembangunan Refractor Ganda Zeiss dengan diameter lensa sebesar 60 cm (24 inchi) dan panjang titik api sekitar 11 meter. Saat pembangunannya selesai pada 7 Juni 1928, teleskop ini menambah jajaran teleskop yang diperhitungkan di belahan Bumi Selatan. Ketika itu teleskop besar yang mengeksplorasi langit selatan hanya refraktor Bloemfontein 27 – inchi di Afrika Selatan (berdiri 1928) dan refraktor Mount Stromo 26 – inchi di Australia (berdiri 1925).
Teleskop utama di Observatorium Bosscha adalah refraktor Ganda Zeiss 60-cm (1928) yang digunakan untuk pengamatan bintang ganda dan planet. Berikutnya adalah teleskop tipe Schmidt “BimaSakti” dengan diameter cermin 71-cm yang merupakan satu-satunya teleskop survey di kawasan Asia Tenggara dan dibangun atas sumbangan UNESCO tahun 1960. Teleskop lainnya adalah teleskop Cassegrain GOTO 45-cm (hibah pemerintah Jepang tahun 1989), teleskop Unitron 10.2-cm dan teleskop Bamberg 37-cm.
Observatorium Bosscha merupakan sebuah laboratorium astronomi yang menjadi perintis perkembangan astronomi dan ilmu pengetahuan antariksa di Indonesia. Kontinuitas kerja dan tanggung jawab untuk mengembangkan astronomi antar generasi di Indonesia merupakan tugas penting yang dilaksanakan Observatorium Bosscha hingga saat ini. Keberadaan Observatorium ini membuka jembatan untuk beinteraksi dengan dunia ilmiah internasional melalui tukar menukar ilmu pengetahuan.
Keberadaan Observatorium Bosscha memberi kontribusi penting bagi pendidikan formal maupun informal. Observatorium ini dipergunakan sebagai laboratorium astronomi bagi pendidikan sarjana dan pasca sarjana serta sebagai model Observatorium maupun museum astronomi dalam dunia arsitek dan seni rupa. Selain itu, setiap tahun puluhan ribu siswa berkunjung ke Observatorium Bosscha untuk mempelajari alam semesta melalui interaksi langsung dengan astronom dan pengamatan benda langit menggunakan teleskop.
Observatorium Bosscha merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia sehingga lingkungan di sekitarnya perlu dijaga kelestariannya. Lingkungan Observatorium harus tetap terjaga dari polusi cahaya maupun polusi angkasa (kandungan aerosol), agar pengamatan benda langit tidak terganggu. Konservasi terhadap kawasan di sekitar Observatorium telah dilakukan dengan menjadikan Observatorium Bosscha sebagai Benda Cagar Budaya. Lingkungan konservasi tidak menghalangi “pembangunan” Lembang, namun sebaliknya, konsep pembangunan Lembang perlu difikirkan keunikannya dengan tidak meniru pembangunan kota pada umumnya.